Rabu, 25 September 2019

Pancasila dan Keberagamaan Inklusif (Suara Kita_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Jalan Damai" edisi Rabu, 25 September 2019)



Pemerintah belum lama ini mengukuhkan Desa Banjarpanepen, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, sebagai Desa Sadar Kerukunan. Desa terpencil yang berjarak sekitar 40 kilometer dari ibu kota Kabupaten Purwokerto ini merupakan salah satu desa percontohan kerukunan antarumat beragama. Sekitar 80 persen penduduknya beragama Islam, 13 persen beragama Kristen, 5 persen beragama Budha, sedangkan sisanya adalah penganut kepercayaan.
Sejak puluhan tahun silam, umat Islam, Budha, Kristen, serta kepercayaan di sana hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan sejumlah masjid, gereja dan vihara yang hingga hari ini masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Betapa simbol-simbol agama menandai eratnya ikatan persaudaraan lintas iman sekaligus menghilangkan kecurigaan berbasis agama dan kepercayaan.
Kerukunan antarumat beragama tercermin dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pendirian sarana peribadatan. Apabila salah satu umat beragama merenovasi rumah ibadah, umat agama lainnya turut mengulurkan bantuan. Kerukunan semacam ini juga terwujud saat hari besar keagamaan dirayakan. Warga terbiasa bergotong royong dalam menyambut kedatangan hari besar. Itulah mengapa, pada kegiatan grebeg suran, misalnya, semua umat beragama berkumpul dan menjalin kebersamaan.

Fondasi Kebangsaan
Menurut catatan historis, ikhtiar mengukuhkan nilai dan prinsip toleransi beragama/berkeyakinan sebenarnya telah dilakukan puluhan tahun silam. Jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), para bapak bangsa (founding fathers) genap menancapkan fondasi kebangsaan, baik melalui gagasan maupun tindakan. Upaya ini mendapatkan penguatan ketika Pancasila berhasil dirumuskan menjadi dasar negara.
Betapa falsafah hidup yang diwariskan nenek moyang genap dikokohkan melalui Pancasila. Kearifan dan kebijakan para pendahulu yang ditempa perjalanan waktu termanifestasi dalam sila-silanya. Pancasila menuntut komitmen seluruh warga negara untuk senantiasa memelihara kedamaian sekaligus menghindari segala bentuk perpecahan dan permusuhan. Pancasila menghendaki agar setiap orang mampu menjunjung tinggi kebersamaan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kepentingan umum mesti diutamakan melebihi kepentingan pribadi. Beragam perbedaan yang ada berusaha diselaraskan, terutama melalui sila ketiga. Bagaimanapun, sila ini menjadi simpul pengikat berbagai latar belakang manusia. Dengan demikian, keanekaragaman suku, etnis, serta budaya disikapi dengan arif dan bijak. Kemampuan merajut persatuan menjadi modal setiap warga negara dalam mengatasi berbagai masalah bangsa.

Basic Human Rights
Sebagai bangsa yang plural, pandangan mengenai agama dan kepercayaan semestinya bersifat terbuka dan demokratis. Geliat menyebarkan nilai-nilai kebaikan patut digencarkan dalam setiap kesempatan. Prinsip-prinsip kebersamaan harus dipelihara oleh setiap pemeluk agama dan kepercayaan. Kerukunan hidup antarumat beragama merupakan cita-cita yang patut diperjuangkan bersama. Dalam konteks inilah, usaha mewujudkan keberagamaan inklusif menemukan relevansinya.
Kebebasan beragama/berkeyakinan setiap warga negara telah mendapat jaminan dalam konstitusi. Mengingat, hak beragama/berkeyakinan merupakan hak paling dasar yang dimiliki manusia (basic human rights). Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Adanya perlindungan terhadap hak beragama/berkeyakinan merupakan upaya negara mengapresiasi pilihan keyakinan warganya. Dengan perlindungan inilah, ekspresi keagamaan seseorang dapat terjamin.
Namun demikian, hak beragama/berkeyakinan tidak lantas dijalankan secara mutlak dan semena-mena. Hak yang tak dapat dikurangi atas nama dan/atau karena alasan apapun (non derogable rights) tersebut mesti diwujudkan secara proporsional. Atas dasar inilah, konstitusi menetapkan batasan-batasan tertentu bagi setiap orang guna mengekspresikan keyakinannya. Pasal 28J UUD NRI 1945 menegaskan keharusan setiap orang menghormati hak asasi orang lain. Dalam mengespresikan kebebasannya, termasuk dalam beragama/berkeyakinan, setiap warga negara tunduk kepada pembatasan tersebut.

Kebijakan Diskriminatif
Sayangnya, sejumlah kasus menggambarkan bahwa sebagian orang bersikap kurang dewasa dalam beragama. Apa yang mereka lakukan menunjukkan corak keberagamaan eksklusif. Lantaran mengingkari realitas kultural, mereka kerap bersikap sarkastis, agresif, dan ofensif. Mereka gemar menunjukkan tindakan yang rentan memecah belah persatuan sekaligus mengancam eksistensi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kasus penolakan warga pendatang akibat perbedaan keyakinan menjadi penanda bahwa keberagamaan inklusif belum sepenuhnya terwujud. Beberapa kebijakan diskriminatif yang terbit di sejumlah desa merupakan indikasi serius adanya persoalan mendasar terkait kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Sebagian peraturan desa terbukti mendorong sikap eksklusif, melegalkan intoleransi, melanggar hak warga negara, menodai keberagaman, serta melukai kaum minoritas.
Padahal, aturan-aturan diskriminatif yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi bisa dibatalkan. Ketentuan ini berdasarkan asas hukum lex superior derogat legi inferiori, hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah. Boleh dibilang, aturan-aturan formal dalam taraf tertentu telah dimanfaatkan oleh kelompok mayoritas guna menindas kelompok minoritas.

Surabaya, 2019

Senin, 26 Agustus 2019

Pancasila dan Etos Gotong Royong (Esai_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Kurung Buka" edisi Minggu, 25 Agustus 2019)



Dalam tahun-tahun terakhir, persentase publik pro Pancasila terus menurun. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang digelar belum lama ini menunjukkan bahwa pada tahun 2005, publik yang pro Pancasila mencapai 85,2 persen. Pada tahun 2010, angkanya berubah menjadi 81,7 persen. Pada tahun 2015, publik yang pro Pancasila hanya 79,4 persen. Sementara pada tahun 2018, angka tersebut kembali merosot menjadi 75,3 persen.
Data yang disuguhkan LSI di atas tentu merupakan preseden buruk bagi bangsa Indonesia. Padahal, oleh sejumlah kalangan, Pancasila dinilai menjadi solusi atas beragam problematika akut yang menimpa bangsa ini. Bagaimanapun, semakin rendahnya kepercayaan terhadap makna dan fungsi ideologi bangsa rentan mengendorkan antusiasme publik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Riwayat terciptanya embrio Pancasila dalam rahim ibu pertiwi tak terlepas dari beragam dinamika. Apa yang terkandung di dalamnya bukanlah tercetus dari spontanitas, melainkan proses yang cukup berliku. Pembentukannya melewati perdebatan, dialektika, serta perenungan mendalam. Ikhtiar mengukuhkan nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan direfleksikan oleh founding fathers dalam menetapkan dasar negara. Betapa upaya para tokoh bangsa dalam menguatkan fondasi peradaban mampu termanifestasi melalui lima sila Pancasila.

Pergulatan Panjang
Salah satu nilai, prinsip, serta etos yang genap membentuk hakikat Pancasila adalah gotong royong. Jika dirunut secara lebih jauh, maka gotong royong merupakan intisari dari sila-sila Pancasila, sebagaimana isi pidato Soekarno yang menggebu-gebu, “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong.”
Di samping fakta historis, pandangan Soekarno di atas juga berangkat dari pengalaman sekaligus pergulatan panjang mencapai negara yang merdeka, mandiri, serta berdaulat. Ia memahami bahwa filosofi kehidupan penduduk Nusantara sejak dahulu kala adalah kebersamaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Betapa para pendahulu telah mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan kepada generasi setelahnya.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa nilai, prinsip, serta etos gotong royong sejak lama dipraktikkan oleh orang-orang desa. Bahkan, jauh sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mereka mampu mengekang individualisme dan egosentrisme demi tercapainya cita-cita bersama. Betapa aktivitas keseharian mereka senantiasa berlandaskan komunalisme. Dalam berbagai situasi dan kondisi, mereka berusaha mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Implementasi gotong royong yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari mengindikasikan bahwa berjalannya kehidupan di aras lokal meniscayakan adanya musyawarah dan mufakat.
Berbeda dengan norma hukum yang pelaksanaannya menuntut adanya pemaksaan terhadap individu, gotong royong bersifat suka rela. Ia meniscayakan kesadaran anggota masyarakat dalam mewujudkan kepentingan bersama. Namun demikian, mesti terdapat risiko bagi orang-orang yang meninggalkannya. Dalam taraf tertentu, konsekuensi inilah yang menjadikannya senantiasa terpelihara lintas generasi. Gotong royong terlaksana berkat adanya sanksi sosial yang dipegang teguh oleh siapa saja yang bermukim di wilayah perdesaan.

Hambatan Serius
Setelah dikukuhkannya Pancasila sebagai dasar negara dan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, ternyata gotong royong yang genap terlembaga sejak masa silam tetap mampu bertahan. Fakta ini menggambarkan bahwa tradisi tersebut telah mendarah daging dalam diri orang-orang Indonesia.
Dalam gotong royong terkandung ikhtiar menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Upaya mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari terutama dilakukan oleh orang-orang yang bermukim di wilayah pedalaman. Bagaimanapun, desa dengan segenap anasirnya mempunyai andil dalam menguatkan ikatan sosial dan menyuburkan benih-benih persatuan. Bergantinya kekuasaan tidak lantas memberangus gotong royong dari pikiran, sikap, dan perilaku masyarakat perdesaan. Terutama dalam urusan publik, mereka berupaya mengutamakan cita-cita bersama sekaligus mengesampingkan kepentingan personal dan individual.
Sayang dalam perjalanannya, pelestarian gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menemui hambatan serius. Betapa modernisasi dan globalisasi yang menelusup hampir ke semua lini kehidupan manusia rentan menggerogoti nilai-nilai komunal masyarakat perdesaan. Fenomena ini antara lain terlihat cukup jelas dalam bidang agraris yang sejak lama menjadi soko guru perekonomian Nusantara.
Atas dasar inilah, pemanfaatan media virtual, terutama media sosial (medsos), menemukan urgensinya. Pemikiran ini berangkat dari fakta bahwa ketika dunia menapaki era borderless society, manusia terkungkung dalam derasnya arus teknologi informasi. Kejayaan era digital disokong dengan menjamurnya bermacam medsos yang lahir sebagai respons atas menggeliatnya pasar virtual.
Demi membentuk generasi virtual yang cerdas dan arif, tradisi gotong royong dalam “bungkus” lama memang kurang relevan. Akan tetapi, tradisi tersebut dapat disemarakkan dengan format baru dan ideal. Modal sosial yang dimiliki oleh orang-orang desa bisa diwujudkan melalui dunia maya dengan menggagas ‘gotong royong virtual’. Harapannya, dengan memanfaatkan aplikasi berbasis online, kerja sama antarwarga bisa ditingkatkan, adapun problematika masyarakat perdesaan bisa ditampung dan dimusyawarahkan secara kekeluargaan.

Bojonegoro, 2018

Merawat Kebudayaan Asmat (Bunga Rampai_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Minggu, 25 Agustus 2019)



Asmat merupakan salah satu wilayah di Papua yang cukup rentan dengan gizi buruk dan wabah penyakit menular. Dalam satu tahun terakhir, di sana terdapat kejadian luar biasa (KLB) yang telah menewaskan 72 orang. Padahal, kawasan dengan banyak rawa-rawa tersebut dianugerahi sagu dan ikan yang melimpah.
Kondisi demikian barang tentu mengancam keberlangsungan hidup suku Asmat yang sejak lama mampu menginspirasi banyak seniman dunia. Atas dasar inilah, perlindungan terhadap suku terbesar dan paling terkenal di Papua tersebut menemukan relevansinya. Ikhtiar melindungi suku Asmat merupakan bentuk penghargaan negara terhadap Papua yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Kebudayaan Kayu
Tak hanya di kancah nasional, suku Asmat sejak lama juga memperoleh pengakuan di level internasinal. Suku Asmat genap menyuguhkan keunggulan, kecakapan, dan kreativitas bangsa Indonesia di mata dunia melalui karya mereka. Dalam berbagai kesempatan, mereka berusaha menabalkan ciri khas dan karakter kebangsaan yang telah dikukuhkan oleh para pendahulu dan nenek moyang. Tak heran jika mereka berulang kali mengantongi penghargaan dunia. Apa yang dihasilkan oleh Suku Asmat merupakan Situs Warisan Budaya (Site of the World Cutural Heritage).
Sejumlah pakar menyematkan istilah “kebudayaan kayu” pada kebudayaan Asmat. Hal ini berangkat dari fakta bahwa orang-orang Asmat mampu memanfaatkan sekaligus mengelola kayu yang tumbuh di sekitar mereka untuk bertahan hidup di tengah alam yang gersang. Realitas inilah yang mendorong mereka untuk mewujudkan pemikiran mengenai kehidupan beragama dalam bentuk ukiran kayu dalam dua atau tiga dimensi. Itulah mengapa, ukiran kayu suku Asmat dianggap sebagai simbolisasi pemikiran mereka tentang religiusitas. Karya mereka merepresentasikan kepercayaan terhadap pemujaan roh, baih roh nenek moyang maupun roh alam dan makhluk lain, yang dinilai turut memengaruhi kehidupan manusia. Mereka memandang “kayu adalah Asmat, dan Asmat adalah pohon”, di mana pohon tak ubahnya makhluk hidup. Akar pohon ibarat kaki manusia, batang pohon adalah badan manusia, dahan dan rantingnya merupakan tangan dan jari-jari manusia, adapun buah-buahan sama saja dengan kepala manusia. (Zulyani Hidayah. 2015: 35).
Memang tidak semua kebudayaan Asmat dapat dipertahankan dan dimantapkan selaku identitas nasional. Dalam buku Sistem Pemerintahan Tradisional Masyarakat Asmat di Irian Jaya tercatat bahwa masyarakat desa Asmat secara tradisional pernah melestarikan kebiasaan pemenggalan kepala (pengayauan), kanibalisme, serta beragam upacara religi yang berhubungan dengannya. Pengembangan tradisi ini ternyata dikaitkan dengan tokoh-tokoh mitos leluhur dalam karya-karya ukir mereka. Orang-orang yang telah meninggal dunia diabadikan dalam beraneka patung sebagai pusat aktivitas ritual kematian dan penyimpan rencana balas dendam.
Dari gambaran kehidupan tradisional masyarakat desa Asmat, bisa diperoleh penjelasan bahwa kegiatan sehari-hari para laki-laki lazimnya difokuskan pada perang dan aktivitas keagamaan dalam bentuk ritual tarian dan nyanyian, sedangkan kaum Hawa memegang teguh sejumlah pantangan atau hal-hal yang dianggap tabu. Munculnya keyakinan ini berakar dari konsep kebudayaan yang senantiasa diwariskan lintas generasi. Pada waktu-waktu tertentu, semisal saat haid atau melahirkan anak, perempuan dianggap kotor, sehingga rentan mengancam kesejahteraan hidup penduduk desa. (Tito Andonis, dkk. 1994: 31).

Minat Wisatawan
Berdasarkan realitas historis di atas, kebudayaan Asmat perlu senantiasa diperhatikan. Pemerintah semestinya gencar melakukan perlindungan terhadap eksistensi kebudayaan Asmat yang menyimpan berbagai kecerdasan dan kearifan lokal (local wisdom). Seiring dengan gencarnya pemberitaan media internasional mengenai sisi negatif negeri ini, suku Asmat justru mampu menorehkan capaian luar biasa dalam upaya mengharumkan nama Indonesia. Suku Asmat berhasil menangkis serangan dan propaganda sejumlah pihak yang berniat menyebarkan “keburukan” bumi pertiwi. Bermotif keuntungan dan kepentingan sesaat, beberapa oknum ingin menjatuhkan harkat dan martabat Indonesia di kancah internasional. Meskipun demikian, langkah ini harus disertai filterisasi (penyaringan) budaya dengan memilah tradisi yang perlu ditonjolkan dan dikubur dalam-dalam.
Selain itu, panorama dan keindahan daerah-daerah yang menaungi kebudayaan Asmat juga selayaknya diapresiasi. Di antara usaha pelestarian terhadapnya diwujudkan dengan kesediaan pemerintah daerah dalam mengelola kawasan pariwisata dengan maksimal. Terdapat kesan bahwa sumber-sumber daya kepariwisataan di beberapa titik belum terorganisir secara baik. Usaha menarik minat wisatawan hanya dilakukan secara perorangan dengan menyediakan fasilitas sederhana serta losmen atau penginapan ala kadarnya.
Melihat fakta ini, langkah serius semestinya segera diambil. Pemerintah daerah selayaknya memperluas “daya jangkau” dengan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana daerah tersebut. Supaya terhindar dari pola top-down, pemerintah daerah tetap melibatkan warga desa dalam setiap prosesnya. Bagaimanapun, prinsip demokrasi menggariskan bahwa peran serta masyarakat dalam memberdayakan potensi kawasan pariwisata merupakan keniscayaan.

Bojonegoro, 2019

Jumat, 16 Agustus 2019

Historiografi Gotong Royong (Suara Kita_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Jalan Damai" edisi Jumat, 16 Agustus 2019)



Disengat panas terik matahari, warga Desa Kemudo, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, bergotong royong membuat talud pinggir jalan serta memperbaiki lahan budidaya tanaman anggur. Apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka menyelesaikan program Padat Karya Tunai (PKT) yang didukung penuh oleh PT Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur.
Dengan gotong royong, lebih dari 300 warga desa, sejumlah perangkat desa, serta beberapa anggota karang taruna bekerja sama mewujudkan PKT. Di samping kuatnya hasrat masyarakat desa mengembangkan potensi lokal melalui perbaikan fasilitas dan infrastruktur, fakta ini juga menunjukkan kuatnya kultur gotong royong yang dipegang teguh oleh bangsa Indonesia.

Cita-cita Bersama
Meski tradisi gotong royong telah ditemukan di berbagai daerah Nusantara sejak masa silam, tetapi peralihan kekuasaan dan era pemerintahan ternyata tidak lantas memberangusnya. Pada masa Orde Lama, orang-orang desa selalu mempraktikkannya dalam berbagai situasi dan kondisi. Apa yang terjadi di Banyuwangi, Madura, dan Magelang merupakan gambaran betapa kehidupan di desa senantiasa berlandaskan hasrat kolektif. Terutama dalam urusan publik, mereka berupaya mengutamakan cita-cita bersama sekaligus mengesampingkan kepentingan personal dan individual.
Berdasarkan surat kabar Pewarta Soerabaia edisi 02-02-1951, suatu sidang desa berhasil digelar di desa Banjarsari, Banyuwangi, yang dikunjungi oleh sekitar 175 orang. Sidang tersebut menghasilkan kesepakatan membentuk Ikatan Rukun Desa Banjarsari. Adapun azas organisasi tersebut ialah kemasyarakatan dengan bersendikan kerakyatan, persamaan, serta gotong royong.
Berita yang dilansir harian Suara Masjarakat edisi 03-09-1952 menyebutkan bahwa atas inisiatif Camat dan Kepala-kepala Desa di Kecamatan Prenduan, Madura, gerakan pembuatan saluran-saluran air bersama warga berhasil digalakkan. Bagi para petani, sarana tersebut dinilai sangat penting guna mengairi tanaman di sawah. Berkat gencarnya gotong royong masyarakat setempat, akhirnya pembuatan saluran air sepanjang 700 meter bisa terlaksana dengan baik.
Kuang Po edisi 01-10-1955 menginformasikan bahwa gotong royong digelar oleh warga Desa Wuwuharjo, Pandansari dan Pandanretno, Kecamatan Kajoran, Magelang, guna memperbaiki jalan sepanjang 2 kilo meter. Pembangunan fasilitas publik yang menghubungkan tiga desa tersebut semestinya menjadi tanggung jawab jawatan pemerintah, tetapi rupanya diambil alih oleh masyarakat setempat. Harian tersebut menulis, “Akan tetapi karena telah lama rusak dan oleh DPU rupa2nja kurang mendapat perhatian, maka rakjat dari desa2 itu dng ichlas hati bergotong rojong memperbaiki djalan tsb.”

Kearifan Lokal
Pada masa Orde Baru, gotong royong di wilayah perdesaan terbukti masih berjalan cukup intens, salah satunya di Mojokerto. Mengutip surat kabar Pelita edisi 12-02-1986, penduduk Desa Pekuwon, Mejoyo, Tinggarbunut, dan Salen, yang masing-masing berada dalam wilayah Kecamatan Bangsal, Mojokerto, saling mengulurkan bantuan saat dilanda banjir. Menggenangnya air di sejumlah titik akibat meluapnya kali sadar justru menumbuhkan kepedulian. Mereka bergotong royong memperbaiki saluran air dengan suka rela.
Munculnya musibah berupa banjir tidak lantas membuat jalinan persaudaraan, pertemanan, serta kekeluargaan orang desa rapuh, melainkan semakin kokoh. Dengan konsensus tak tertulis, mereka bahu-membahu meringankan rasa sedih, depresi serta trauma. Komunalisme membimbing mereka untuk bersama-sama mengusir penderitaan. Muncul kearifan lokal bahwa segala bentuk kenestapaan yang menimpa sebagian anggota desa ditanggung oleh semua warga.
Apa yang terjadi di Mojokerto ini mengamini pandangan tradisional Jawa desa mawa cara, negara mawa tata (desa mempunyai adat, sedangkan negara memiliki tatanan tertentu). Berlangsungnya hingar-bingar politik di tingkat nasional belum tentu berimbas pada cara hidup orang desa. Mereka senantiasa menunjukkan kasih sayang terhadap sesama, meski dalam kondisi terjepit sekalipun.
Setelah reformasi hingga kini, gotong royong tetap terselenggara di berbagai penjuru Indonesia, antara lain di sejumlah desa adat Sulawesi Selatan. Kearifan lokal yang diajarkan lewat petuah adat dan pesan leluhur mampu memantapkan komunalisme di lubuk hati masyarakat. Etos gotong royong diwujudkan oleh suku Toraja melalui Rambu Solo sebagai ritual adat Toraja yang digelar untuk melepas seseorang menuju keabadian atau peristirahatan terakhir.
Dalam ritual tersebut, mengutip Kompas edisi 10-02-2018, kerbau menjadi komponen penting sekaligus berperan besar bagi pengembangan infrastruktur lokal. Suleman Miting, pemangku adat di Lembang Rinding Batu menginformasikan bahwa di Toraja, pembangunan jalan desa dan jalan kebun acap merupakan hasil sumbangan kerbau dalam acara Rambu Solo. Oleh masyarakat setempat, jalan-jalan tersebut akrab dinamakan “jalan adat”. Yang tak kalah penting, Rambu Solo memuat semangat gotong royong dan kuatnya jalinan kekerabatan. Tersebar persepsi bahwa hanya ritual inilah yang mampu mengumpulkan keluarga dan kerabat dari seluruh wilayah, baik dari dalam maupun luar negeri.

Bojonegoro, 2018

Rabu, 14 Agustus 2019

Di Balik Maraknya Digitalisasi Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Selasa, 13 Agustus 2019)


Bermula dari pandangan bahwa teknologi informasi (TI) merupakan pelecut berkembangnya suatu wilayah, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) getol menyebarluaskan jaringan internet ke seluruh pelosok Indonesia. Penguatan konektivitas dunia maya salah satunya diwujudkan oleh pemerintah dengan membangun infrastruktur digital di daerah tertinggal, terdepan dan terluar (daerah 3T), terutama di Indonesia bagian timur.
Seiring dengan derasnya arus globalisasi dan modernisasi, tersedianya jaringan internet di beberapa kawasan merupakan kebutuhan vital. Tersebarnya akses internet hingga wilayah pedalaman menjadikan beragam informasi merangsek ke semua penjuru.

Domain Publik
Kini, membludaknya jaringan internet di kawasan perdesaan merupakan pemandangan biasa. Betapa di balai-balai desa genap terpasang jaringan wifi 24 jam nonstop. Bermodal akses internet, para administrator atau operator desa dapat dengan mudah menyuguhkan profil desa kepada khalayak. Di samping memunculkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah desa, kondisi demikian juga menjadikan harapan terwujudnya good governance di level lokal lebih besar. 
Di luar itu, informasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa tidak hanya dimiliki oleh para elite lokal, melainkan juga masyarakat awam. Meluasnya akses internet turut menunjukkan terjadinya pergeseran dari pemerintahan tertutup ke pemerintahan terbuka. Nilai-nilai demokrasi yang antara lain ditandai dengan keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan mulai menggantikan otoritarianisme sebagai warisan rezim Orde Baru.
Upaya pemerintah desa memancing atensi khalayak terhadap program-program pemerintahan menandai berubahnya asumsi terhadap orang desa. Apabila dulu 'orang udik' dinilai bodoh dan terbelakang, maka sekarang mereka dianggap cerdas dan layak diikutsertakan dalam ikhtiar memajukan kepentingan bersama.
Dengan adanya persepsi tersebut, pemerintahan desa tidak mungkin dijalankan secara sewenang-wenang, melainkan berdasarkan ketentuan yang genap digariskan dalam peraturan perundang-undangan. Informasi-informasi penting terkait desa yang awalnya dikuasai oleh segelintir orang akhirnya menjadi domain publik.  

Ekses Negatif
Langkah Kominfo menginisiasi program digitalisasi daerah 3T ternyata juga direspons secara positif oleh pemerintah desa dengan menyediakan layanan internet gratis bagi masyarakat. Optimalisasi dana desa antara lain terbukti dengan maraknya pemasangan infrastruktur digital di kawasan perdesaan.
Sayangnya, apa yang dilakukan oleh pemerintah desa tidak selamanya berjalan mulus. Usaha mencerdaskan masyarakat melalui jaringan wifi terkadang kurang diimbangi dengan kearifan, sehingga memunculkan ekses negatif. Penyediaan layanan internet gratis yang pada mulanya bermaksud mengajak masyarakat untuk membuka cakrawala dunia melalui mesin pencari ternyata disalahgunakan.
Ketimbang giat ‘memperkaya diri’ dengan ilmu pengetahuan, kaum muda justru sibuk ‘berjejaring ria’. Di sejumlah tempat, tak jarang kawula muda memanfaatkan jaringan internet desa hingga larut malam. Pemanfaatan infrastruktur digital juga menjadi alasan sebagian remaja untuk menjalin perasaan. Interaksi muda-mudi yang melampaui batas secara perlahan menyulap balai desa menjadi ‘balai asmara’.
Fakta di atas membuat kepala desa beserta perangkatnya merasa cemas dan khawatir. Mereka kerap dihantui rasa bersalah karena telah menyuplai sarana-sarana digital yang rentan digunakan untuk kegiatan-kegiatan negatif.

Norma Sosial
Alih-alih menghadirkan kemajuan desa, jaringan internet yang ‘kurang tepat guna’ justru mengundang bermacam bentuk kerusakan. Imbasnya, norma-norma sosial yang selama ini dijunjung tinggi oleh orang desa terpaksa dikorbankan demi terpenuhinya hasrat pribadi.
Degradasi moral yang menjangkiti para remaja dinilai telah meluluhlantakkan nilai dan etos para pendahulu atau nenek moyang. Tak heran apabila orang desa masa kini menghadapi ancaman peralihan dari masyarakat komunal menuju masyarakat bercorak individual.
Tantangan inilah yang semestinya segera diatasi oleh pemerintah desa. Aneka kenakalan remaja selayaknya tidak disikapi secara reaktif-emosional. Daripada memutus jaringan wifi, lebih baik pemerintah desa mengelolanya secara bijak. Selaku aktor di level lokal, kepala desa beserta perangkatnya harus menekankan pemahaman bahwa layanan internet gratis merupakan medium pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah desa berkontribusi membentuk karakter kaum muda yang cerdas, kritis, inovatif, dan bertanggung jawab. Jika dimanfaatkan secara bijak, infrastruktur digital antara lain berfungsi meningkatkan potensi, memupuk motivasi hidup, memperbaiki taraf ekonomi, serta mengatrol produktivitas kerja.

Bojonegoro, 2019

Minggu, 04 Agustus 2019

Meredam Friksi Politik (Blog_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Alif" edisi Minggu, 4 Agustus 2019)



Media cetak dan daring hari-hari ini dipenuhi berita kekecewaan pendukung pasangan Prabowo-Sandi yang menganggap adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Apalagi, dugaan tersebut genap dimentalkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi. Kekecewaan mereka semakin besar setelah pertemuan Jokowi dan Prabowo digelar di stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) serta “diplomasi makan siang” berlangsung antara Megawati dengan Prabowo.
Sejumlah orang melampiaskan rasa frustasi dengan kegiatan negatif bahkan destruktif. Menyebarnya kabar bohong (hoax) di beranda media sosial barangkali dikarenakan ketidakmampuan sebagian orang mengelola emosi. Merebaknya ujaran kebencian di ruang publik menunjukkan bahwa kemarahan, rasa dendam, serta sinisme terhadap lawan politik hingga detik ini masih terpelihara. Dalam taraf tertentu, mereka seolah menobatkan diri selaku seteru abadi, meski perhelatan demokrasi sudah usai.

Kontraproduktif
Setelah Pemilu diselenggarakan secara gegap gempita, muncul gelombang friksi yang tak terbendung derasnya. Dalam tataran realitas, ajang pemilihan pemimpin negeri ini bukannya merekatkan tali persaudaraan dan kekeluargaan, melainkan justru membuat jurang pemisah antara para pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi kian lebar.
Hal di atas diperparah dengan menjamurnya elite politik berwatak culas. Individualisme membimbing mereka untuk selalu mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Hajat hidup rakyat rela dikorbankan demi terpenuhinya kenikmatan sesaat. Perilaku mereka cukup jauh dari kesan berwibawa, terhormat, dan mulia. Pernyataan yang mereka lontarkan bukannya mendinginkan suasana, tetapi justru memekakkan telinga.
Sikap dan tindakan mereka yang kontraproduktif genap melahirkan aksi provokasi. Masyarakat awam yang kurang memahami suasana politik di negeri ini akhirnya terpancing melakukan hal-hal yang cenderung merugikan diri sendiri. Dengan demikian, selain mengingkari identitas sebagai bangsa yang beradab, ulah sebagian elite politik secara tidak langsung mengakibatkan sulitnya rekonsiliasi nasional terwujud.

Geliat Permusuhan
Gejala-gejala pertikaian antarkelompok atau komunitas sebenarnya tidak hanya ditemukan belakangan. Berdasarkan fakta historis, geliat permusuhan sejak lama turut mewarnai tumbuh dan berkembangnya bangsa ini. Apa yang terjadi di bumi Nusantara ternyata tidak selamanya ditandai dengan kedamaian, ketenteraman, serta kerukunan. Munculnya konflik dengan melibatkan beberapa pihak menggambarkan betapa cara instan dianggap sangat efektif untuk mengatasi persoalan.
Berdasarkan data yang ada, riak-riak perpecahan telah ditemukan di berbagai tempat sehingga mengakibatkan angka permusuhan cukup tinggi. Fenomena ini salah satunya dijumpai pada suku Batak (Toba). Uniknya, masyarakat Toba mampu meredam suasana dengan menggelar rekonsiliasi adat.
Bila diperhatikan, masa silam orang Batak kerap diwarnai dengan pertikaian, peperangan sesama sub suku, marga, desa, antardesa maupun antarbius. Namun, beberapa naskah mencatat adanya suatu tata tertib yang mengatur pertikaian orang Toba. Tata tertib tersebut mencakup pertikaian berskala kecil (dalam lingkup keluarga batih) atau pertikaian besar (antarmarga atau bius).
Bungaran Antonius Simanjuntak (2007: 25) mensinyalir bahwa setiap pertikaian selalu berawal dan berakhir melalui “lembaga tata tertib” berbasis adat dan budaya. Yang patut dipuji, orang “berdarah Toba” bersedia mematuhi keputusan atas penyelesaian suatu sengketa. Mereka memegang teguh etika kepatuhan yang tulus terhadap keputusan bersama. Apalagi, sejak dahulu kala suku Batak dikenal gemar menjunjung tinggi kejujuran dan kekesatriaan.

Local Wisdom
Pola rekonsiliasi suku Batak di atas selayaknya diadopsi dalam rekonsiliasi nasional. Bagaimanapun, inilah di antara kearifan lokal (local wisdom) suku-suku Indonesia yang mesti diserap nilai-nilainya. Seiring dengan masih tingginya friksi akibat percaturan politik, perwujudan prinsip dan etos kearifan lokal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menemukan relevansinya.
Di samping itu, yang tak kalah penting adalah diambilnya sikap toleran oleh semua pihak. Para pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi dituntut mampu mengadopsi ajaran toleransi suku Jawa yang dipraktikkan dengan berusaha sekuat mungkin menghindari persengketaan terbuka.
Menurut Daniel S. Lev, hubungan pribadi orang Jawa dijalankan secara hati-hati, teratur, serta menekankan diplomasi dan rasa hormat. Jika timbul suatu persengketaan, cara menanganinya diusahakan pada level pribadi dengan menyerahkan permasalahan tersebut pada seorang teman, sesepuh desa, atau lurah, yang bertindak selaku juru damai. Langkah ini ditempuh dengan senantiasa menekankan kepentingan bersama sekaligus berupaya meminimalisir konflik. (S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi [peny], 2008: 283-284)

Surabaya, 2019

Senin, 15 Juli 2019

Kuasa Elite Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Analisa" edisi Sabtu, 13 Juli 2019)

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) berencana menguatkan sistem pengawasan dana desa berbasis kolaboratif. Upaya ini akan ditempuh demi menghasilkan Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dana Desa yang bisa menjadi rujukan aparat penegak hukum, auditor, serta sejumlah kementerian/lembaga.
Sejak digulirkan pada 2015, dana desa menjadi isu yang cukup sensitif. Apalagi, jumlah dana desa yang digelontorkan oleh pemerintah pusat dari tahun ke tahun semakin besar. Sampai penghujung 2018, pemerintah pusat genap menganggarkan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut untuk diberikan kepada desa sebesar Rp 561 triliun.
Melimpahnya dana desa turut menumbuhkan kembali taring kekuasaan elite lokal. Melalui perangkat perundang-undangan, kuasa pemerintahan desa dikukuhkan. Merujuk Ivanovich Agusta (2015), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengokohkan kembali kuasa pemerintahan desa melalui dana desa, berikut wewenang mengelola seluruh program yang masuk desa.
Agusta juga mensinyalir bahwa dengan adanya perolehan honor bulanan bagi perangkat desa, cengkeraman pemerintahan desa menjalar sampai ke tingkat Rukun Tetangga (RT). Gencarnya insentif program dan dana yang masuk ke desa merupakan bentuk kontrol pemerintah pusat dan daerah terhadap implementasi fungsi-fungsi pemerintahan desa.
Terbitnya peraturan perundang-undangan tentang desa tersebut genap menguatkan kuasa pemerintahan desa yang sempat melemah pasca reformasi. Sayangnya, upaya penguatan tersebut berimplikasi serius lantaran turut mengembalikan posisi kepala desa sebagai sosok superior. Padahal, tak lama setelah Soeharto tumbang, derasnya arus demokratisasi dan desentralisasi ternyata mengakibatkan kewibawaan mereka merosot drastis.
Barang tentu hal ini memberikan kegembiraan bagi elite lokal yang sejak lama kehilangan taring. Kini, mereka memperoleh kepercayaan untuk mengelola dana desa yang berjumlah ratusan juta rupiah per tahun di luar proyek-proyek pemerintah pusat yang dititipkan ke desa. Jika fungsi kontrol di desa kurang berjalan maksimal, maka dikhawatirkan kepala desa akan tampil arogan bergaya otoritarian-sentralistik di hadapan warganya. Implementasi kehidupan desa juga akan timpang, sebab kepala desa rentan menjalankan kewenangan secara kebablasan.

Mekanisasi
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam perjalanannya telah memunculkan mekanisasi. Bagaimanapun, tersedianya honor bulanan bagi perangkat desa menyebabkan penetrasi pemerintahan desa dirasakan sampai level RT. Padahal, dahulu kala, RT merupakan lembaga kemasyarakatan yang bersifat sukarela. Kondisi demikian menyebabkan selain kemandiriannya dalam berinovasi semakin terbatas, RT juga menjadi penampung kepentingan kekuasaan di atasnya.
Itulah mengapa, ketua RT tiada lain merupakan kepanjangan tangan kepala desa di wilayah masing-masing. Akhirnya, kepastian honor membuat kerja perangkat desa semakin mekanis. Tidak ada prakarsa dan inisiatif dalam rangka menjanjikan kesejahteraan masyarakat desa. Honor sejatinya sekadar meniscayakan hasil kinerja yang terukur, bercorak kuantiatif, namun menihilkan kreativitas.
Di samping honor, mekanisasi perangkat desa sebenarnya juga dilakukan melalui seragam dinas. Meskipun bukan termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi perangkat desa dituntut mengenakan seragam ala pemerintah. Atribut ini mengesankan bahwa mereka merupakan bagian dari pemerintah pusat yang menjalankan tugas negara. Pakaian resmi menandakan, mereka senantiasa mematuhi apa yang dikehendaki oleh supra desa. Instruksi pemerintah pusat dan daerah merupakan titah yang wajib dilaksanakan. Suasana formal dan teratur melingkupi mereka saat bertugas. Tak heran apabila berkumpulnya para pamong di balai desa lebih merefleksikan petugas kantor dibanding pelayan masyarakat.
Kepastian honor bagi perangkat desa mendaulat uang sebagai sarana kontrol yang paling efektif. Negara leluasa melakukan pengawasan terhadap rakyat melalui uang. Pengendalian terhadap kehidupan desa cukup mudah diwujudkan dengan uang. Seringkali perangkat desa kehilangan daya kritis ketika dijejali uang. Pada dasarnya uang merupakan perangkat penguasa untuk mengondisikan” siapa saja yang berani melawannya.
Dengan adanya dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), misalnya, pemerintah pusat dan daerah mengikutsertakan pendamping desa yang bertugas mengawalnya. Padahal, boleh jadi pendamping desa membawa ideologi dan misi tertentu yang lebih berpihak pada negara ketimbang desa. Pencairan dana dari atas menyiratkan kemauan supra desa untuk membaca dinamika masyarakat desa.

Budaya Korupsi
Dalam taraf tertentu, kuasa pemerintahan desa dicemari oleh menjamurnya penyelewengan di level lokal. Bagaimanapun, melimpahnya uang di desa menjadi pemantik korupsi oleh aktor-aktor lokal. Dalam enam bulan pertama 2018, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat adanya 27 kasus korupsi dana desa yang naik ke tahap penyidikan. Data tersebut mengamini tesis bahwa budaya korupsi genap mengakar di negeri ini.
Menurut catatan sejarah, korupsi seolah dilegalkan sejak zaman kerajaan. Korupsi memperoleh jalan lempang sebab raja memberikan keleluasaan bagi elite lokal untuk memperkaya diri. Pada masa silam, kepala desa sebagai tangan kanan raja mendapat peluang besar untuk mengeruk keuntungan dengan jalan haram. Tanpa kepastian gaji, mereka justru leluasa memonopoli tenaga kerja untuk kepentingan pribadi.
Rakyat kecil yang semestinya memperoleh perlindungan justru diperas oleh pemimpinnya. Mereka yang bermental individualistis pasti merasa diuntungkan dengan keputusan raja. Adapun rakyat kecil selalu mengeluh karena menjadi korban kesewenangan elite lokal. Orang desa kerap menerima imbas dan risiko dari kebijakan yang menihilkan eksistensinya.
Kesewenangan kepala desa menurun saat Herman Willem Daendels terpilih menjadi Gubernur-Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808-1811. Masa pemerintahan Daendels yang cukup singkat rupanya membatasi dominasi elite lokal. Kebijakan pemerintah menyebabkan penghasilan mereka merosot sedemikian rupa. Bahkan, apa yang mereka “kantongi” cenderung sekadar merupakan pemberian dari atas. Pendapatan yang benar-benar pasti hanyalah gaji. Sehingga, untuk mencari pemasukan lain, mereka merasa kesulitan.
Posisi kepala desa terancam jika nekat mengutip keuntungan dari penjualan hasil bumi. Mereka tidak lagi leluasa menambah pundi kekayaan dengan menghisap kekayaan orang-orang desa. Sanksi atas kasus korupsi membuat mereka berpikir dua kali untuk melakukan penghisapan. Kebijakan ini secara tidak langsung meringankan penderitaan rakyat kecil. Kerja orang desa menjadi lebih ringan lantaran kepala desa tidak lagi membebaninya.
Getolnya Daendels membasmi korupsi menjadikan beban rakyat otomatis berkurang. Sebelumnya, diperbolehkannya kepala desa mengambil keuntungan dari hasil panen membuat warga desa kerap diperas oleh pemimpinnya. Kepala desa berhasrat melipatgandakan keuntungan dengan memaksa warganya menghasilkan lebih banyak hasil panen. Ketika target upeti berhasil terpenuhi, kepala desa bisa mengantongi sisanya. Warga desa kerap bekerja di luar kemampuan demi menuruti hasrat elite lokal.

Bojonegoro, 2018